Perkaderan IPM; Sebuah catatan refleksi


Perkaderan IPM; Sebuah catatan refleksi

Oleh: Masmulyadi

Alumni IPM dan peneliti bidang kelembagaan ekonomi di Institute of Public Policy and Economic Studies (Inspect) Yogyakarta

Malam itu suasana dingin Kaliurang menelisik kedalam tulang. Sementara jam sudah menunjukkan pukul 00.00 dinihari. Di ruang tengah sebuah gedung, anak-anak muda itu masih saja berdiskusi. Mereka gundah dan mempertanyakan bagaimana masa depan perkaderan organisasinya. Bahkan menuduh SPI sebagai biang kerok dari segala persoalan carut marutnya perkaderan di organisasi otonom persyarikatan Muhammadiyah ini.

”Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) mengalami krisis kader” ungkap seorang diantara mereka, melontar perdebatan. Sementara yang lain menyatakan ”kedepan sistem perkaderan IPM harus di reformasi dan sesuai dengan kebutuhan lokal dan basis”.

Refleksi diatas wajar saja dan tentu penting. Tapi apa benar IPM krisis kader? Apa spi tidak becus? Pertanyaan tersebut penting dalam mengantarkan kita pada penjelasan apakah memang sedang terjadi krisis kader.

Kritik-kritik tersebut sudah sangat lama seumur dengan proses kaderisasi itu. Menurut saya, kegagalan itu bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, tidak ada kader yang akan dilatih. Stagnasi atau kemandegan bisa jadi disebabkan oleh tidak adanya kader yang akan dilatih. Tapi dalam konteks IPM, ini mustahil. Sebab Muhammadiyah memiliki banyak sekali amal usaha pendidikan. Yang cukup bermasalah ialah, bagaimana penerimaan pelajar Islam di sekolah-sekolah umum (negeri dan swasta lain)? Dititik ini sesungguhnya yang harus dievaluasi. Kedua, lemahnya kapasitas pengader (fasilitator). Terhadap argumen ini alasannya ialah ketidak mampuan fasilitator mentransformasikan nilai (al-Islam, Muhammadiyah, dan IPM) dan budaya organisasi. Inilah juga yang menjadi titik kritik banyak alumni lalu membandingkannya dengan masa kejayaan lampau.

Memperjelas Terminologi

Pengkaderan mulai berkembang ketika diketahui dan disadari bahwa manusia mengandung berbagai aspek sumberdaya dan energi yang dapat mengubah dan membentuk formasi sosial di sekitarnya. Manusia tidak sekedar hitungan jumlah, sebagaimana kesan yang ditimbulkan dari sensus penduduk, tetapi lebih dari itu adalah kapasitas yang mencakup mutu dan kualitas.

Sedangkan kapasitas hanya bisa diperkuat lewat sebuah proses yang disebut dengan kaderisasi. Kaderisasi adalah transformasi nilai-nilai dan proses optimalisasi potensi-potensi manusia. Jadi, kaderisasi disini identik dengan pendidikan. Jika hendak membahas mengenai urgensi kaderisasi maka yang akan timbul dalam benak ialah mengenai kondisi-kondisi yang membuat kaderisasi memiliki arti penting didalamnya.

IPM sejak awal mengidentifikasi dirinya sebagai organisasi kader yang memiliki pola pembinaan kader secara tersruktur dan sistematis.

Kelahiran IPM merupakan respon terhadap setting sosial historis umat Islam, yang juga melahirkan perbedaan setiap generasi. Implikasinya tentu pada perbedaan cara atau metode untuk menyelesaikan masalah atau tantangan yang bersifat internal maupun eksternal. Pandangan objektif dan historis harus diarahkan pada tradisi yang terbangun dalam sejarah perjalanan IPM. Tradisi bukanlah barang mahal, ia senantiasa bisa digugat dan diekspresikan kembali. Tradisi tidak mungkin terbentuk di luar sejarah. Tradisi yang dimaksud adalah “tradisi pemikiran” yang mengakar dan terbangun di tubuh IPM sebagai sebuah metode untuk mengekspresikan diri menjawab tuntutan zaman.

Karena menurut Latif (2005) tiap zaman memiliki tantangannya sendiri-sendiri. Setiap zaman kader-kader pergerakan Islam dituntut untuk membaca tanda-tanda sejarah, untuk bisa merespon keadaan secara tepat. Tradisi harus disegarkan dengan inovasi. Rutinitas harus diberdayakan dengan kreativitas. Di awal abad yang lalu, meskipun generasi pertama inteligensia Muslim yang dijurubicarai oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto memperoleh pengikut yang luas di akar rumput, posisi mereka dalam kepemimpinan nasional rapuh, seiring dengan melemahnya basis ekonomi santri dan menguatnya elit pengetahuan baru yang tercerabut dari komunitas kesantrian.

Konteks persoalan yang dihadapi oleh IPM – gerakan pelajar pada umumnya – saat ini berkaitan dengan: Pertama, gelombang demokratisasi dan kebebasan yang sangat deras. Demokratisasi sebagai antitesis dari dominasi kekuatan politik Orde Baru telah mengembalikan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik rakyat. Saat ini rakyat relatif bebas berorganisasi dan meyatakan pendapat. Kendati pun demikian, gelombang demokratisasi juga melahirkan masalah-masalah yang tidak ringan.

Dalam ranah politik misalnya, pemilihan umum/pemilu kepala daerah (pilkada) telah menyeret gerakan-gerakan Islam (pelajar) kearah fragmentasi dan konflik horisontal yang sengit. Karena terjadi konflik, gerak organisasi menjadi tidak efektif dan energi terkuras mempersoalkan aspek-aspek yang tidak penting. Akibatnya program-program organisasi terbengkalai karena disibukkan dengan kegiatan dukung mendukung. Tentu ini persoalan serius. Kenyataan pragmatisme ini membuyarkan cita-cita besar lembaga yang tentu pada gilirannya merusak budaya organisasi.

Pengambilan keputusan dalam forum-forum musyawarah organisasi hanya untuk (ditingkat pusat dan wilayah, di daerah – ranting belum mengarah kesana) memenangkan kepentingan sebagai kelompok/front/as-shobiya (suku, daerah, dll), hanya mengandalkan kuantitas bukan kualitas. Aktifitas pergerakan pun terpaku kepada metode yang laiknya panggung pertunjukkan, tanpa dilihat atau direfleksikan efektif ataupun tidaknya pendekatan tersebut. Semuanya larut dalam rutinitas dan tak sedikit pun ruang untuk berkontemplasi. Bahkan pada tingkat tertentu yang sangat menyedihkan ialah tumbuhnya praktek-praktek money politic–level low–dalam permusyawaratan, laiknya kontestasi pemilihan kepala daerah.

Kedua, gerak modal yang melintasi teritori negara. Globalisasi atau dimasa lampau – kolonialisme – merupakan tantangan terberat yang dihadapi oleh gerakan Islam (pelajar dan mahasiswa). Globalisasi ialah proses pengintegrasian ekonomi nasional kepada sistem ekonomi dunia berdasarkan keyakinan pada perdagangan bebas yang telah dicanangkan pada masa kolonialisme.

Di era ini, IPM seperti sedang berada dalam rumah kaca yang sangat terbuka. Kontestasi ideologi tampak nyata kelihatan dari berbagai sudut. Dalam kondisi netral situasi ini tidak jadi persoalan. Tapi sesungguhnya kondisi tersebut tidak pernah bebas dari kepentingan. Selalu ada ideologi dominan yang menghegemoni sebuah gelanggang. Karena itu, globalisasi tidak mungkin lagi dihindari yang bisa dilakukan oleh organisasi pelajar ialah bagaimana mensiasati agar menemukan jalan keluar yang pas bagi gerakan pelajar seperti IPM. Butuh kajian-kajian yang mendalam berkaitan dengan bagaimana format gerakan IPM yang bisa merespon fenomena global tersebut secara cerdas dan kreatif.

Meminjam pandangan Ibnu Khaldun, peradaban yang lebih besar akan mempengaruhi peradaban yang lebih kecil. Cukup dimaklumi bahwa bagi sementara orang, globalisasi pada dasarnya adalah westernisasi. Masalahnya, respon atas globalisasi itu cenderung dimaknai berat sebelah. Pada satu sisi menolak produk globalisasi tanpa menawarkan produk tandingan, pada sisi lain menerima produk globalisasi tanpa hitung-hitungan yang cermat. Fenomena di negeri ini, yang pertama menderetkan eksklusivisme (termasuk dalam beragama), apatisme bahkan anarkisme, sedang yang kedua bersenarai konsumtivisme, hedonisme, dan heteronomi (tiadanya nilai yang dipegang).

Ketiga, pergeseran nilai dan orientasi hidup pelajar (kaum muda). Gerakan kaum muda dan santri dimasa lampau berbasis pada surau, masjid, dan institusi agama lainnya, sekarang basis aktivisme mereka tidak lagi demikian. Kuntowijoyo menyebut fenomena ini dengan muslim tanpa masjid. Anak-anak muda itu kini berkeliaran di mall, pusat-pusat belanja, warung kopi, KFC, dll. Mereka menghabiskan pulsa, makan, dan minum dipusat-pusat kapitalisme itu.

Budaya organisasi pun dihinggapi banalitas. Ruang-ruang organisasi hanya jadi shop display untuk mempertontonkan bahwa si aktivis punya hp baru, besar lagi – sampai bisa ganjal ban mobil, black bary, jilbab baru, baju baru model millenium. Persis dengan patung-patung di toko pakaian yang mempublikasikan model pakaian yang sedang popular. Ringkasnya, organisasi pelajar Islam hari ini dihadapkan pada tantangan budaya pop yang tidak ringan.

Menegaskan Identitas

Diperhadapkan pada realitas seperti diatas, maka IPM setuju atau tidak harus meninjau ulang perangkat-perangkat organisasionalnya. Perangkat-perangkat organisasi di IPM tumpan tindih dan terlalu rumit. Misalnya antara paradigma, visi, dan ideologi. Apa bedanya? Keinginan besar untuk menggarap berbagai macam isu (gerakan kader, islam, ilmu, kemasyarakat, dan advokasi) juga perlu ditinjau ulang? Harus ada prioritas dan pilihan yang bisa membuat IPM fokus dan concern sehingga bisa lebih efektif dalam gerakannya.

Pertanyaannya kemudian ialah bagaimana mendekati inti masalah tersebut dan melahirkan solusi yang tidak sekedar tambal sulam dari periode-keperiode? Pertanyaan ini penting karena dua hal: Pertama, IPM harus menegaskan kembali identitas dirinya sebagai organisasi pelajar Islam yang bergerak diranah Islam dan kebudayaan. Penegasan ini sangat penting untuk meneguhkan kembali hakikat organisasi ini sebagai “gerakan Islam”.

Jujur, diakui bahwa pasca orde baru, dimana kebebasan sangat terbuka IPM diperhadapkan pada ragam pilihan ideologi dan pada arena mana akan beraktivitas. Dialektika panjang yang terjadi dalam merumuskan basis gerakan IPM adalah pertanda betapa rumitnya persoalan yang dihadapi. Sekarang dengan ketegasan basis pelajar, maka tugas IPM ialah bagaimana membingkai basis tersebut. Menurut saya ada dua bingkai yang patut disematkan kepada IPM, yaitu spiritualitas dan ke-ilmuan.

Spiritualitas dapat dipahami sebagai sebuah keyakinan akan nilai-nilai hidup yang kemudian bermuara dan berwujud pada cara hidup seseorang. Karena itu, tidaklah salah jika dikatakan, bahwa kualitas cara hidup seseorang sesungguhnya banyak sekali ditentukan oleh kualitas spiritualnya, yakni kualitas keyakinannya terhadap nilai-nilai hidup yang ia yakini.

Spiritualitas IPM pun sesungguhnya dapat dipahami demikian, yakni spiritualitas Islam sebagai sumber tata nilai yang menjadi landasan etik seluruh aktivisme kader IPM. Artinya kader IPM harus memiliki spiritualitas yang kuat dan manifes dalam kehidupan bermasyarakat atau berkelompok. Sering memang ada gugatan bahwa di ikatan ada ruang kosong spiritualitas. Sementara ikatan tidak menyediakan ruang itu. Maka jangan disalahkan bila mana terjadi migrasi ke gerakan lain yang mungkin bisa menjamin mekarnya spiritualistas Islam disana. Saya kira ini tantangan tersendiri yang harus dijawab oleh IPM.

Intelektualitas adalah mereka yang merasa terpanggil hatinya untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat difahami berbagai kalangan, kemudian menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalahnya.

Rekruitmen dan Pendampingan

Sebagai organisasi yang mengidentifikasi diri organisasi kader, maka proses kaderisasi mutlak adanya. Kaderisasi meniscayakan rekruitmen dan pendampingan. Rekruitmen berkaitan dengan hubungan eksternal, bagaimana citra organisasi sehingga bisa menarik pelajar untuk terlibat didalamnya. Jadi bagaimana sosialisasi dan marketing organisasi. Sedangkan pendampingan merupakan proses yang dilakukan pascapengaderan formal dimana penekanannya lebih pada proses transformasi nilai dan pendidikan pada diri seorang kader.

Salah satu kelemahan mendasar IPM – organisasi pelajar dan mahasiswa pada umumnya – ialah tidak berjalannya proses rekruitmen kader. Persoalan ini bisa jadi disebabkan karena eksistensi IPM di sekolah Muhammadiyah yang secara tidak langsung memanjakan organisasi ini. Sehingga IPM tidak perlu bersusah payah mencari calon kader, karena semua siswa wajib ikut perkaderan IPM.

Kedepan model rekruitmen IPM harus lebih baik, jika masih ingin berkiprah dalam pentas gerakan. Sebab bukan tidak mungkin organisasi ini akan ditinggal karena tidak memiliki kader. Oleh sebab itu, maka kontekstualisasi adalah syarat mutlak agar tetap bisa eksis dengan dinamika zaman yang berubah, bukan sebaliknya mempertahankan mitos kejayaan kaderisasi masa lampau yang tidak pas lagi dengan zaman.

Perkaderan IPM sebenarnya telah dirumuskan dalam sistem perkaderan (SPI). Paling tidak, SPI telah mengalami tiga fase perubahan; SPI merah (1984), SPI biru (1994), dan SPI hijau (2002). Masing-masing fase memiliki dinamika sendiri-sendiri. Sayang sekali, SPI yang ada tidak di implementasikan sebagaimana mestinya. Bahkan muncul negative campaign yang menyerang SPI tersebut. Sementara orang belum pernah membaca dan memahaminya secara utuh. Just tersebut misalnya mengatakan bahwa ini tidak ideologis atau kok ini kayak LSM dan berbagai tuduhan miring lainnya. Inilah faktor yang menyebabkan ketakmampuan SPI tersebut diimplementasikan. Terhadap masalah ini, IPM harus melakukan sosialisasi secara massif, kajian-kajian gradual, dan merumuskan petunjuk pelaksanaan (juklak) perkaderan yang lebih teknis.

Kedua, kualitas proses perkaderan. Secara substansi, arah perkaderan sebenarnya sudah termaktub dalam SPI biru sesuai dengan penjenjangannya. PKTM I dan II sebagai basis penguatan karakter building kader. Sedangkan PKTM III pada aspek pemikiran kritis kader. Dan PKTM U arahnya pada kematangan dan kemampuan konsepsional kader.

Kualitas proses perkaderan banyak ditentukan oleh kemampuan menggali kebutuhan peserta dan organisasi. Karena kebutuhan itulah yang menjadi pijakan dalam menyusun konten(isi) sebuah proses pelatihan kader seperti materi, kurikulum, dan fasilitator (narasumber). Kegagalan PKTM kadangkala berawal dari kegagalan merumuskan kebutuhan organisasi dan calon peserta PKTM.

Ketiga, pendampingan pasca pelatihan. Salah satu kegiatan pasca perkaderan yang banyak didustakan ialah pendampingan (baca SPI hijau halaman 10). Ruang lingkup pendampingan meliputi: (i) tujuan pendampingan, yaitu pengayaan terhadap topik-topik materi perkaderan atau tematik pada setiap penjenjangan; (ii) sasaran pendampingan, yaitu alumnus taruna melati yang didampingi oleh fasilitator yang telah mengikuti proses pelatihan fasilitator tingkat I dan II; dan (iii) pelaksanaan; pendampingan dilaksanakan sekali dalam sepakan atau sesuai dengan waktu yang disepakati.

Kelembagaan pendampingan di IPM dikoordinasikan oleh pimpinan penyelenggara perkaderan (ranting, cabang, daerah, atau wilayah) dengan membentuk tim pendamping (technical assistance). Tim terdiri atas seorang koordinator dan 4 anggota pendamping lainnya atau sesuai dengan kebutuhan. Tugas pendamping adalah memfasilitasi proses pendampingan agar berjalan sesuai dengan target yang diharapkan. Adapun alur proses pendampingan dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.


Gambar 1. Alur proses pendampingan

Fasilitator pendamping akan melakukan assesment terhadap kader-kader alumni PKTM (I –III) sebagai sasaran pendampingan. Setelah dilakukan assesmen dan ketemu pokok masalah dan harapan-harapan calon peserta, maka tahap berikutnya ialah merumuskan kurikulum pendampingan dengan topik-topik yang telah ditentukan disesuaikan dengan kebutuhan peserta pelatihan dan kebutuhan lembaga. Kurikulum pendampingan adalah seperangkat rencana dan program yang diatur secara sistematis mengenai tujuan, isi, materi dan metode yang dipergunakan untuk mencapai kompetensi pendampingan.

Setelah terumuskan kurikulum, maka dilakukan kontrak belajar dan pertemuan regular setiap minggu atau sesuai dengan jadwal yang disepakati. Kegiatan evaluasi dilakukan pada saat proses dan pasca pendampingan. Tujuannya ialah untuk memastikan apakah goal dari proses pendampingan tersebut tercapai atau tidak.

Ada pun metode pendampingan yang dilakukan dapat berupa :

  1. Ceramah atau studium general.
  2. Fokus groups diskussin (FGD).
  3. Panel forum.
  4. Case studi.
  5. Role play.
  6. Simposium
  7. Games, dll.

Penutup

IPM sebagai organisasi pelajar Islam lahir dalam ruang dan waktu. Perjalanan panjang IPM telah melahirkan banyak kader yang berkiprah pada berbagai bidang kehidupan. Sukses tersebut berkat konsistensi IPM diranah kaderisasi dan independensinya sebagai gerakan dijalan civil society. Namun tetap saja dirasakan ada persoalan dengan kaderisasi di ikatan.

Untuk merespons fenomena itu, maka IPM harus kembali menegaskan identitas dirinya sebagai organisasi kader. Penegasan tersebut penting dalam merespon perkembangan zaman yang dihadapi oleh IPM. Akhirnya, jika IPM masih ingin eksis dalam dunia ”persilatan” pelajar, maka IPM harus memperbaiki sistem rekruitmen kadernya dan melakukan pendampingan secara sistematik dan terstruktur pasca pelatihan formal PKTM disetiap jenjang.

Padepokan Agus Salim

Yogyakarta, 13 April 2010

Tags:

About author

Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kota Yogyakarta.
Nuun, walqolami wa maa yasthuruun.

1 comments

Leave a Reply